gambar diambil dari roony_yahya/textgram
Nadhom Alfiyah Ibn Malik karya Assyaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik, merupakan sebuah karya yang sangat fenomenal, yang tidak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektualitas pesantren. Khususnya pesantren salaf.
Kitab ini bertemakan tentang qaidah-qaidah gramatika bahasa arab, seputar nahwu shorof, dan diantara keunikan dari kitab ini adalah penempatan kata-kata dan contoh dalam nadzhom yang tidak sembarangan, melainkan mempunyai maksud dan isyaroh tersendiri. Semisal kalam-kalam hikmah, falsafah dan nasehat hidup.
Beliau menamai nadzhom tersebut dengan nama Alfiyah, diambil dari jumlah bait dalam nadzom tersebut yakni seribu, (baca dalam bahasa arab; alfun).
Namun pada kenyataannya, jumlah bait dari nadzhom alfiyah itu sendiri adalah 1002 bait, ada tambahan 2 bait di muqoddimah, dan juga ada cerita menarik dibalik penambahan 2 bait tersebut.
Tentang arti dari sebuah rasa bangga, tentang ta’dzim kepada sang guru, tentang tulusnya sebuah karya, juga tentang adab terhadap orang yang sudah meninggal.
…
Diceritakan bahwa Syaikh Ibnu Malik dalam menyusun nazhom Alfiyah ini terinspirasi dari almarhum sang guru yang sudah terlebih dahulu menyusun sebuah nadzhom yang berjumlah 500 bait. Beliau adalah Syaikh Ibn Mu’thiy. Karyanya tersebut diberinama Alkaafiyah, namun mashur juga disebut dengan Alfiyah Ibn Mu’thiy.
(Disebut Alfiyah, karena terdiri dari 1000 satar, adapun satar,adalah setengah bagian dari satu bait).
Ketika beliau sudah mantap menyimpan semua gambaran nadzhom alfiyah dalam memori otaknya, beliaupun memulai untuk menulis untaian nadzom-nadzom indah tersebut.
Hingga pada saat beliau menulis bait ke lima, bagian satar ke sepuluh yang berbunyi;
وتَقتضِى رضًا بغير سخطٍ # فائقةً ألفيّةً ابن معطى
(Dan kitab alfiyah itu akan menarik keridhoan yang tanpa didasari kemarahan
Dan kitab alfiyah ini lebih unggul dari kitab alfiyahnya ibnu mu’thiy)
Seketika semua hafalan yang sudah tersimpan rapi dalam memori otak beliaupun lenyap. Beliau tidak ingat satu hurufpun.
Syaikh ibnu malik pun merasa cemas, sedih, juga bingung, entah apa yang harus beliau lakukan. Hingga akhirnya beliaupun tertidur pulas.
Dalam mimpinya, beliau dibangunkan oleh seorang kakek yang memakai pakaian serba putih, jubahnya hampir menutupi sebagian kepalanya sehingga wajahnya tidak nampak secara jelas.
Kakek itu menepuk pundak Syaikh ibnu malik sambil berkata;
“wahai anak muda, bangunlah!, bukankah kamu sedang menyusun sebuah kitab?”
“Iya kek,” seketika ibnu malik terbangun.
“namun aku lupa semua hafalanku, sehingga aku tak mampu tuk melanjutkanya” lanjutnya.
Kakek itu pun bertanya, “sudah sampai mana kamu menulisnya?”
“baru sampai bait kelima”, beliau menjawab sambil membacakan bait yang terakhir.
“bolehkah aku melanjutkan hafalanmu,?” tanya kakek tersebut.
“tentu saja”.
Kakek itupun membacakan sepasang bait ;
فائقةً من نحو ألف بيتي # والحيّ قد يغلب ألف ميّتي
(Seperti halnya mengungguli dalam seribu bait #
Orang yang masih hidup, terkadang mengalahkan 1000 orang yang sudah meninggal)
Seketika setelah mendengar satu bait yang diucapkan oleh kakek tersebut, Syaikh Ibn Malik pun terbangun. Dan beliaupun menyadari satu hal, bahwa kakek dalam mimpinya itu tidak lain adalah sang guru, yakni Syaikh Ibnu Mu’thiy yang dengan jelas menegur Syaikh Ibnu Malik dengan sindiran di bait tersebut.
Beliau juga sadar, bahwa ungkapan bangga yang beliau ungkapkan dalam bait kelima tersebut ternyata merupakan perasaan takabbur yang timbul dari nafsunya, perasaan yang secara tidak langsung telah menerobos sebuah adab, akhlaqul karimah seorang murid kepada gurunya.
Sadar akan hal itu, Ibnu Malik pun bertaubat kepada Sang pencipta atas rasa takabburnya. Beliau juga hendak meminta maaf kepada Ibnu Mu’thiy, beliau berziarah ke makam Syaikh Ibnu Mu’thiy.
Selepas berziarah, beliaupun hendak melanjutkan karangan tersebut dengan menambahkan 2 bait di bagian Muqoddimah yang pada awalnya tidak masuk dalam rencana, dengan harapan bahwa hafalannya akan pulih kembali.
2 bait tersebut berbunyi seperti ini :
وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا
Dan dia (ibnu mu’thiy) memang lebih dahulu dan mendapatkan keunggulan
Dia juga pantas mendapatkan pujian (legitimasi) yang sangat baik dariku
والله يقضي بهبات وافرة # لي وله في درجات الآخرة
Semoga Alloh memberikan anugerah yang sempurna
Untukku dan juga beliau dalam derajat yang tinggi di akhirat kelak
Secara ajaib, semua memori hafalan nadzom yang ingin beliau tulis itupun kembali tergambar jelas di otak dan hatinya. Beliaupun sangat bersyukur dan kemudian melanjutkan karangannya.
Hingga akhirnya terciptalah sebuah mahakarya yang terkenal di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Nadhoman yang sangat popular dikalangan santri, khususnya santri salaf. Dan sampai saat ini pun, masih banyak santri-santri yang menghafalnya.
Konon katanya, hafalan Alfiyah itu sendiri lebih cepat hilang dibanding Al-qur’an apabila si penghafalnya berbuat maksiat. Dan juga orang yang hafal Alfiyah itu punya daya tarik tersendiri.Wallohu a’lam.
Banyak sekali versi yang tersebar tentang 2 bait tambahan dalam nadzom Alfiyah Ibnu Malik, salah satunya diceritakan dengan jelas dalam Syarah Alfiyah itu sendiri, yakni dalam kitab Qodhi Al-qudhot.
Namun inti nya sama, yakni cerita yang mengandung pesan tentang adab kita kepada seorang guru yang harus tetap dilakukan, meskipun kemampuan kita telah melebihi sang guru tersebut. Atau meskipun guru kita telah meninggal dunia.
Karena tidak ada yang namanya “mantan guru”.
Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub
Siapa tak kenal kitab Alfiyah? Seolah memancarkan berkah tak kunjung habis, nahdham seribu bait yang mengulas ilmu nahwu ini dipelajari terus di berbagai majelis ilmu hingga kini.
Pengarangnya, Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau tersohor dengan sebutan Ibnu Malik, merupakan pakar gramatika Arab ternama dari Andalusia (Spanyol). Alfiyah yang merupakan ringkasan karya sebelumnya, al-Kafiyah asy-Syafiyah, pun dipuji banyak cendekiawan, dan melahirkan berjilid-jilid kitab syarah dan karya komentar yang sudah tak terbilang.
Namun demikian, ada cerita menarik di sela proses penulisan muqaddimah nadham luar biasa yang masih dilantunkan di berbagai pesantren dan madrasah ini.
وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ # مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)
تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ # وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat)
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ # فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)
Sampai di sini Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya ulama sebelumnya, yakni Ibnu Mu’thi. Dalam kitab Hasyiyah al-‘Allâmah Ibnu Hamdûn ‘ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik, dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dengan bait:
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ …………….
(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…….)
Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yang hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.
“Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?”
“Betul,” sahut Ibnu Malik.
“Sampai di mana?”
“Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”
“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?”
“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya lagi.
“Kau ingin menuntaskannya?”
“Ya.”
Lalu orang dalam mimpi itu menyambung bait
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ
yang terpotong dengan
وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ
(Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati).
Terang saja, orang hidup meski cuma seorang dijamin sanggup mengalahkan berapa pun banyaknya orang yang tak punya kuasa pembelaan lantaran sudah mati.
Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan sang pengarang Alfiyah
Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau Ibnu Mu’thi?”
“Betul.”
Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna:
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً # مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat)
Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah “
(para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat).
Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu, sehebat apapun, menjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang tak kunjung padam hingga sekarang.
Oleh Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi ( Pengasuh Pondok Pesatren Riyadhul Jannah Surakarta)
Ingin bertanya permasalahan Agama? Kirimkan pertanyaan Anda kepada Tim Asatidz Tafaqquh Nyantri Yuk, klik http://tanya.nyantriyuk.id